“Kapan punya
anak nih? Udah gak usah lama-lama… ”
“Lagi isi?
Wah tanda-tandanya iya nih”
“Kapan ibu
nimang cucu nak? Ayo, mumpung ibu masih hidup”
“Sepertinya
si Rian butuh adek tuh hehe..”
Kalimat-kalimat di atas, dan variasinya, sering dilontarkan orangtua
Indonesia pada pasangan muda yang baru menikah. Tentu saja setelah sebelumnya
melontarkan kalimat “kapan nikah?” ketika mereka masih lajang. Saya dulu juga
pernah melontarkan pertanyaan seperti itu, walaupun sekarang sudah bertobat hehe… Pertanyaaan-pertanyaan
tersebut biasanya ditanyakan dengan maksud yang baik karena lahir dari
kepedulian atau sekedar iseng saja karena tidak ada bahan pembicaraan, walaupun
banyak juga yang lahir dari ego pribadi orangtua. Tapi sebagai akibatnya tidak
jarang membuat pasangan muda frustasi karena merasa tertekan untuk segera punya
anak.
Sebenarnya, jika ditelaah lebih jauh kalimat-kalimat ini memiliki makna
yang lebih dalam. Di balik kalimat-kalimat ini terletak anggapan bahwa tujuan
utama menikah adalah untuk punya anak (prokreasi) dan memiliki anak adalah hal
yang mudah. Kedua anggapan tersebut adalah tidak benar.
Pertama, tujuan utama
menikah menurut Timothy Keller, dalam bukunya The Meaning of Marriage, adalah deep
character through deep friendship. Jadi, di dalam pernikahan, seorang
laki-laki dan seorang perempuan membina persahabatan yang intim demi saling
mengasah karakter satu sama lain sehingga
masing-masing dapat memenuhi potensi yang telah Tuhan
tetapkan sebelumnya. Diantara karakter itu adalah kemampuan untuk mengasihi
dengan tulus, kemampuan untuk bersukacita tanpa tergantung situasi dan kondisi,
kemampuan untuk membawa dan mengusahakan terwujudnya kedamaian, memiliki kesabaran,
memiliki kemurahan hati terhadap sesama, selalu berusaha melakukan kebaikan, memiliki
kesetiaan, tingkah laku dan tutur katanya penuh kelemahlembutan, serta memiliki
penguasaan diri (love, joy,
peace, forbearance, kindness, goodness, faithfulness, gentleness and
self-control). Jika tujuan pernikahan dibatasi hanya untuk memiliki anak,
maka dapat dipastikan penikahan tersebut akan mudah goyah. Terutama jika
pasangan tersebut tidak dikaruniai anak.
Kedua, keterampilan mengasuh
anak(parenting skill) tidak terjadi secara
alami. Kemampuan mengasuh dan mendidik anak merupakan keterampilan tersendiri
yang harus dipelajari dengan menyengaja. Orangtua ibaratnya tukang kebun yang bukan
sumber kehidupan dan pertumbuhan sang bibit tanaman, tapi berkewajiban
menyediakan kondisi lingkungan yang tepat agar bibit tanaman dapat tumbuh dan
berbuah dengan optimal. Sang tukang kebun harus mengetahui jumlah air, banyaknya sinar matahari, kesuburan
tanah, suhu udara, dan penyiangan yang dibutuhkan tanaman untuk tumbuh subur. Demikian juga dengan orangtua yang tidak
memberikan hidup dan pertumbuhan pada anak , tapi berkewajiban menyediakan
lingkungan dan pendidikan yang tepat agar anak dapat bertumbuh optimal menjadi
manusia seutuhnya sesuai dengan potensi yang Tuhan sudah tetapkan. Untuk
menyediakan lingkungan dan pendidikan yang tepat tersebut orangtua membutuhkan
pengetahuan dan keterampilan yang tepat dimulai dari masa konsepsi, kehamilan, kelahiran,
anak usia 0-5 tahun, dan seterusnya sampai anak dewasa dan siap untuk
berdikari.
Berikut setidaknya 5 Parenting Skills yang penting dimiliki
orangtua dan calon orangtua
1. Nutrisi, kesehatan, dan
keamanan
- Orangtua perlu memliki pengetahuan tentang nutrisi dan bagaimana menterjemahkan pengetahuan tersebut ke dalam praktek sehari-hari, seperti menyiapkan makanan bergizi.
- Orangtua harus memiliki pengetahuan tentang kebersihan tubuh dan kesehatan. Termasuk di dalamnya membawa anak untuk melakukan pemeriksaan rutin ke dokter anak dan dokter gigi sebagai tindakan pencegahan dan juga bagaimana merawat dan mengobati anak ketika sakit.
- Orangtua juga perlu memahami bagaimana menciptakan lingkungan yang aman bagi anak, baik dirumah, ketika berkendaraan, atau ketika berada di luar rumah. Termasuk di antaranya memilih perlengkapan bayi dan perabotan yang aman bagi anak.
2. Kemampuan berkomunikasi dan mengkomunikasikan cinta
Cinta adalah tindakan bukan sekedar perasaan. Anak tidak akan percaya
kalau Anda bilang sayang tapi perilaku Anda tidak menunjukan kasih sayang Anda.
Pastikan bahwa dari tindakan dan perkataan Anda, anak bisa merasakan cinta
Anda, diantaranya dengan meluangkan waktu dengan anak, berbicara dengan lemah
lebut, dan mendahulukan kebutuhan anak di atas ambisi pribadi Anda.
3. Kemampuan dalam mengajarkan
keterampilan hidup
Menarik ada perkataan I love you
but I don’t need you dalam
parenting, yang maknanya adalah orangtua menyayangi anak tapi tak membutuhkan
anaknya untuk membuatnya merasa berarti.
Arti lebih jauh adalah karena kasihnya orangtua harus melengkapi anaknya agar
dapat mandiri. Seringkali orangtua merasa senang karena dibutuhkan dan
menggantungkan nilai dirinya kepada anaknya, sehingga akibatnya anak tidak
memiliki ketreampilan hidup dan kurang percaya diri untuk hidup mandiri. Sedini
mungkin libatkan anak dalam pekerjaan rumah tangga sehari-hari, seperti memasak,
mencuci piring & baju, membersihkan rumah, dll. Saya selalu membayangkan jika saya harus
meninggal besok, saya ingin memanfaatkan hari ini sebaik-baiknya untuk
mengajarkan anak saya keterampilan hidup yang ia butuhkan untuk hidup tanpa
bantuan saya.
4. Keterampilan dalam mengajarkan
standar moral benar dan salah serta bagaimana cara mengambil keputusan dalam
hidup.
Menurut Garry & Anne Marie Ezzo, suami istri pakar pendidikan anak,
hati nurani manusia terbagi dua yaitu primary
conscience dan moral conscience.
Primary conscience adalah bagian hati nurani yang sudah tertanam sejak
lahir. Contohnya, perasaan benar atau salah dan rasa malu. Moral conscience adalah bagian hati nurani manusia yang harus dilatih,
di bagian inilah tugas orangtua untuk menanam standar benar dan salah dalam
nurani anak. Perasaan saja tidak cukup untuk menghasilkan perilaku moral yang baik, orangtua harus melengkapinya dengan penjabaran nilai juga latihan
aplikasi perilaku benar dan salah. Orangtua juga harus hati-hati karena tidak
hanya nilai benar dan salah yang diajarkan yang penting, tapi juga bagaimana
mengajarkannya akan berpengaruh apakah hati anak akan menjadi mudah dibentuk
atau malah menjadi keras. Teori dan teladan perilaku harus sesuai, jangan
sampai orangtua berkata A tapi mencontohkan B.
Dengan didasari standar moral tersebut orangtua juga perlu mengajarkan
kemampuan teknis pengambilan keputusan yang terdiri dari
- menganalisa permasalahan / kebutuhan
- meneliti alternatif solusi apa saja yang ada
- membuat daftar kelebihan dan kekurangan dari masing-masing alternatif, dan
- menciptakan solusi baru jika tidak ada yang baik dari solusi yang ada
- membuat keputusan dengan mengerti penuh segala konsekuensi dari keputusannya.
Anda mungkin tertawa membaca ini
dan merasa berlebihan, tapi percaya deh anak Anda akan sangat berterima kasih
jika Anda membekalinya dengan keterampilan ini.
5. Melakukan disiplin yang proaktif,
tegas dan konsisten
Kata disiplin berasal dari bahasa Latin disciplina, yang artinya mengajarkan atau belajar (teaching or learning) and berasal dari
akar kata bahasa Latin discipulus, yang artinya murid (pupil).
Jadi intinya kegiatan mendisplinkan anak adalah kegiatan memuridkan anak untuk
memiliki karakter moral yang baik. Jadi orangtua harus memiliki kemampuan
memuridkan anak yang dilakukan secara proaktif, tegas, dan konsisten.
Nah, ternyata punya anak tidak semudah itu kan. Jadi, untuk
orangtua-orangtua senior yang sudah lebih berpengalaman, daripada kita
menanyakan terus kapan pasangan-pasangan muda yang kita temui memiliki anak,
lebih baik kita sibuk mengasah diri jika kelak pasangan-pasangan muda ini
membutuhkan bantuan kita untuk mengembangkan parenting skills mereka ketika mereka telah siap untuk memiliki dan
dikaruniai anak.
No comments:
Post a Comment