Tulisan ini terinpirasi dari sebuah status teman saya di Facebook yang
mengomentari sebuah artikel di New York Times. Artikel tersebut
membahas mengenai fenomena berbahasa anak-anak di Indonesia yang lahir dari
orangtua yang telah mengenyam pendidikan di Amerika dan Australia. Para orangtua
ini berbicara menggunakan bahasa Inggris dengan anak-anak mereka dan
menyekolahkan mereka di sekolah swasta dengan bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar utamanya. Alhasil, mereka menjadi anak-anak Indonesia yang tidak bisa
berbahasa Indonesia. Lebih lanjut dikemukakan bahwa terdapat kecenderungan di
masyarakat kelas menengah atas untuk melihat bahasa Indonesia sebagai bahasa
yang digunakan oleh masyarakat kelas bawah.
Dahi saya mengernyit ketika membaca artikel itu. Awalnya ingin sedih,
tapi saya berpikir lagi kalau apa yang tertulis di artikel tersebut masuk akal
juga. Seperti yang selalu saya tuliskan di blog ini, bahwasanya setiap apapun
yang dilakukan orangtua dalam mendidik anaknya bergantung pada tujuan
masing-masing dalam membangun keluarga dan mendidik anak-anaknya.
Saya membayangkan apa yang ada di benak keluarga-keluarga yang
diceritakan di artikel itu. Sekembalinya dari Amerika atau Australia, mungkin
mereka merasa kemampuan berbahasa Inggris adalah kunci keberhasilan hidup atau
simbol status sosial. Jika tujuan utama membangun keluarga dan mendidik anak
adalah agar mereka menjadi sukses secara materi dan menempati posisi sosial yang baik di
masyarakat, maka apa yang mereka lakukan sudah tepat. Tidak ada yang salah.
Dalam hal ini, saya dan suami memiliki tujuan yang berbeda dalam
membangun keluarga dan mendidik anak kami. Oleh karena itu, kami sekeluarga
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama percakapan kami sehari-hari.
Berikut beberapa alasan dibalik keputusan kami.
1. Kami ingin anak kami memiliki
mentalitas kontribusi.
Seperti yang saya tulis sebelumnya
di sini, kami ingin anak kami dapat berkontribusi di
tempat di mana ia berada dan dalam beberapa tahun lagi setelah studi suami
selesai, kami akan kembali ke Indonesia. Sangat sulit bagi anak kami untuk
dapat berkontribusi jika ia tidak dapat berkomunikasi dalam bahasa yang
digunakan mayoritas orang Indonesia
2. Kami ingin anak kami memiliki
kemampuan berbahasa yang baik.
Menurut Ana Paula G. Mumy, seorang pakar bahasa, agar anak
dapat memiliki kemampuan berbahasa dengan baik, orangtua sebaiknya memberikan input bahasa yang
berkualitas secara efektif dan konsisten. Untuk melakukan itu, orangtua harus
berbicara dengan bahasa yang paling dominan mereka gunakan dan kuasai dengan
baik. Biasanya, bahasa tersebut adalah bahasa ibu, dan dalam kasus kami adalah
bahasa Indonesia. Tata bahasa dan jumlah kosa kata yang kami kuasai dalam
bahasa Indonesia jauh lebih baik dan lebih banyak daripada dalam bahasa Inggris
3. Kami ingin menjalin
percakapan yang akrab dan intim dengan anak kami.
Meskipun saya dan suami dapat berbahasa Inggris, terus terang kami
merasa kurang personal jika menggunakan bahasa Inggris dalam percakapan
sehari-hari. Ada banyak istilah / frase dalam Indonesia yang tidak dapat
diterjemahkan sepenuhnya ke dalam bahasa Inggris, seperti “rasanya plong”,
“galau”, “pecah”, dan masih banyak istilah lainnya yang akan kehilangan soul nya jika diterjemahkan ke dalam
bahasa lain hehe… Nah, kami ingin memiliki soul
itu dalam setiap percakapan kami di rumah.
4. Kami ingin anak kami dapat berkomunikasi
dalam multibahasa, dan tentu salah satunya adalah bahasa Indonesia.
Sekali lagi menurut Ana Paula G. Mumy, seorang anak akan lebih mudah
mempelajari bahasa kedua jika sudah memiliki dasar kemampuan bahasa pertama yang kuat. Anak harus dapat berkomunikasi
secara efektif di rumahnya sebelum ia dapat bekomunikasi dengan efektif di luar
rumah. Jika orangtua menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa percakapan di rumah,
kemungkinan untuk membangun dasar bahasa pertama yang kuat lebih besar jika
dibandingkan dengan orangtua yang memaksakan berbicara menggunakan bahasa kedua
yang kurang memadai. Kecenderungannya, banyak anak-anak yang lahir dari
orangtua berkebangsaan Indonesia, tidak terlalu banyak bicara ketika masih berusia
0 – 3 tahun dan mulai semakin lancar berbicara ketika masuk sekolah. Hal ini dikarenakan
orangtua yang ingin mengajarkan bahasa Inggris kepada anaknya tapi ketika
berkomunikasi sesama suami istri lebih nyaman menggunakan bahasa Indonesia. Orangtua
jadi jarang bercakap-cakap secara personal dengan anak karena ketidaknyamanan /
keterbatasan berbahasa dan percakapan yang terjadi sebagian besar dilakukan
dalam bentuk instruksi. Kemudian, ketika mulai sekolah sang anak lebih banyak belajar bahasa Inggris dari teman dan gurunya. Biasanya yang terjadi berikutnya adalah orangtua mulai ingin berbicara bahasa Indonesia dengan anaknya tapi sang anak, meskipun mungkin mengerti, enggan menjawab dalam bahasa Indonesia.
Dengan berpegangan pada empat alasan ini, saya bersyukur di usia 2
tahun 4 bulan anak saya sudah dapat berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris. Berikut beberapa tips yang kami ikuti dalam melatih anak
saya untuk tetap berbahasa Indonesia di tengah lingkungan yang berbahasa
Inggris.
1. Selalu berbicara menggunakan
bahasa Indonesia yang baik dan benar J.
Artinya, meskipun saya sedang bicara dengan anak batita, percakapan
saya berlangsung normal seperti dengan orang dewasa dan tidak
“dicadel-cadelin.” Hal ini penting agar anak saya memiliki referensi berbahasa
yang baik dan benar. Semenjak anak kami masih bayi, saya dan suami juga selalu
berdiskusi mengenai berbagai hal di
depan anak kami mengggunakan bahasa Indonesia, seolah-olah dia juga sudah dapat
bergabung dalam diskusi tersebut J.
Sesekali kami berhenti dan bertanya pada anak kami, “bagaimana menurut kamu
Jov?”
2. Menggunakan bahasa Inggris
untuk beberapa kalimat yang berhubungan dengan tata krama dan sopan santun.
Karena anak saya harus berinteraksi dengan orang-orang disekitar, maka
dia harus menguasai percakapan dasar dalam bahasa Inggris. Misalnya: Please, thank you, good, morning, dll. Menurut
saya, belajar bahasa harus selaras dengan belajar sopan santun.
3. Menggunakan bahasa Inggris
untuk menyebut huruf, angka, kata benda, dan kata sifat.
Hal ini untuk memudahkan dia untuk menjawab kalau ditanya oleh tetangga
mengenai gambar apa yang ada di bajunya misalnya. Karena tidak sopan jika anak
saya diam saja dan hanya menatap kosong sang penanya, jadi saya harus
melengkapinya dengan keterampilan dasar untuk menjawab pertanyaan-pertanyan sederhana sebelum akhirnya dia akan menguasai kalimat yang lebih kompleks seiring dengan berambahnya usia anak saya.
4. Sering-sering menterjemahkan
kalimat ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Saya sering menterjemahkan dan bicara dua kali dengan anak saya,
menggunakan bahasa Indonesia dan Ingggris. Misalnya, “Jova, the color of the car is red. Warna mobil
itu merah.” Terus, di lain kesempatan saya bertanya, “bahasa Indonesianya red, apa Jov?”
5. Tetap perkenalkan buku dan
lagu berbahasa Inggris tetapi dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar.
Saya suka membacakan buku-bukunya Dr. Seuss untuk anak saya dan
membacakannya dalam bahasa Inggris. Tapi tentu saja percakapan yang menyertai
pembacaan buku tersebut dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia.
6. Meminimalisir Penggunaan TV, Video Game, atau Komputer di rumah.
Sarana terbaik bagi anak untuk belajar bahasa di usia formatif 0-5
tahun adalah melalui interaksi langsung dengan lingkungan dan orangtuanya. Seorang
psikolog peneliti bernama Jane Healy, dalam bukunya Endangered Minds: why children don’t think and what we can do about it,
mengatakan bahwa lingkungan formatif yang kaya - yaitu lingkungan yang
menyediakan banyak kesempatan untuk melakukan eksplorasi, berkreasi, dan
menyelesaikan masalah - menjadi pupuk
bagi pertumbuhan otak anak dan menghasilkan anak yang lebih sehat, mudah
beradaptasi, dan cerdas. Lebih jauh lagi, salah satu ciri anak yang memiliki otak
yang sehat adalah kemampuannya untuk tetap fokus menyelesaikan suatu kegiatan yang
sesuai umurnya berapa lama pun waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya. Jadi
dengan mengurangi penggunaan media elektronik yang saya sebutkan diatas, orangtua tidak
hanya mendukung perkembangan bahasa tapi juga perkembangan otak anak secara keseluruhan.
Semoga tips-tips di atas berguna bagi Anda yang ingin membesarkan anak yang
berbahasa Indonesia di tengah lingkungan yang berbahasa asing.
No comments:
Post a Comment