Sunday, June 29, 2014

Mau Revolusi Mental? Yuk, Mulai dari Rumah!

Pemilu Pemilu Pemilu...

Pesta demokrasi lima tahun sekali ini selalu membangkitkan perasaaan harap-harap cemas kami para perantau terhadap nasib Indonesia yang akan datang. Apakah kami akan pulang ke Indonesia yang lebih baik atau malah Indonesia yang semakin terpuruk? Semua kita ingin optimis terhadap hasil pemilu, tapi realitas sering berkata lain. Setelah pemimpin yang diinginkan terpilih, kemajuan tidak seperti dibayangkan atau tidak sepesat yang diharapkan. Kenapa sih selalu begini? Karena pada hakikatnya kita semua tau, satu atau dua orang tokoh yang terpilih saja tidak cukup untuk membuat Indonesia menjadi pemimpin dalam inovasi dan lebih baik dalam berbagai aspek (contohnya seperti yang tertera dalam OECD Better Life Index).

Jadi, apa yang dibutuhkan Indonesia? Selain pemimpin yang jujur, sederhana, dan bekerja :), tentu warga negara (WN) yang baik dari Sabang sampai Merauke.

Apa definisi WN yang baik? Warga negara yang jumlah kontribusi bagi bangsa dan negaranya lebih besar daripada tuntutannya pada pemerintah untuk memfasilitasi kepentingannya.



Jadi yang dibutuhkan Indonesia untuk maju adalah warga negara yang sama-sama berkontribusi untuk kesejahteraan bangsanya.

Institusi apa yang paling efektif untuk menghasilkan WN yang berkontribusi? Pasti jawaban sebagian besar orang biasanya adalah... sekolah! Hasil studi saya berkata lain. Sekolah hanyalah sebagai institusi pelengkap, sedangkan institusi utama dan paling efektif untuk menghasilkan WN yang baik adalah keluarga.

Jadi, bagaimana caranya agar keluarga Indonesia dapat menghasilkan WN yang berkontribusi?
Keluarga dapat menghasilkan WN yang berkontribusi jika orangtua-orangtua Indonesia kompak melakukan delapan hal di bawah ini

1. Berikan tanggung jawab bagi anak untuk mengerjakan tugas rumah tangga (chores).
Ketika saya melihat-lihat iklan rumah dijual untuk tempat tinggal di Jakarta dan sekitarnya, ada dua fenomena yang cukup menggelitik yang saya amati: kamar pembantu! Hampir semua rumah yang dijual menaruh keterangan 1 kamar pembantu di iklannya. Berbeda sekali jika kita melihat iklan rumah di Amerika, tentu tidak ada keterangan 1 kamar pembantu :) Apa sih salahnya punya pembantu? Bukan masalah salah atau benar, tapi ini merupakan satu indikator sederhana bahwa dilayani merupakan hal yang lumrah di Indonesia bahkan lebih diinginkan karena sering kali dianggap menunjukkan status sosial yang lebih tinggi. Semakin banyak pembantu berarti semakin berada. Anak-anak sekarang banyak yang di keluarganya hanya sebagai pihak yang menerima, mengkonsumsi, bahkan seringkali menuntut. Sedihnya hal ini terjadi tidak hanya di kota besar saja, tapi di desa yang tanpa pembantu pun demikian. Anak hanya disuruh sekolah dan belajar saja, sementara segala kebutuhan dilayani ibu / orangtuanya karena sang orangtua berpikir kunci kesuksesan utama adalah sekolah yang tinggi. Tentu kita tidak ingin anak-anak dengan gelar PhD yang kemudian korupsi bukan? Karakter harus diutamakan, kemudian pengetahuan dibangun di atasnya. Libatkan anak sesuai usianya untuk nyapu, ngepel, nyuci, nyetrika, masak. Sehingga anak belajar untuk berkontribusi bagi kesejahteraan keluarganya dan tidak melulu menjadi pihak yang hanya taunya menerima dan menuntut orangtuanya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya.

2. Ajak anak berdiskusi mengenai isu-isu sosial dan kebangsaan.
Untuk poin ini, keluarga yang memiliki kebiasaan makan bersama akan sangat terbantu.  Setelah terlebih dahulu mengajarkan anak untuk rajin membaca koran, kemudian tanyakan ketika makan bersama apa isu yang ingin mereka diskusikan. Atau, tanya bagaimana pendapat mereka mengenai isu tertentu. Untuk anak-anak yang masih sangat muda, orangtua dapat membacakan buku-buku yang bertema kepedulian terhadap sesama.

3. Aktif melakukan pelayanan masyarakat.
Setelah membahas berbagai isu sosial, ajak anak-anak untuk benar-benar peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Salah satu caranya adalah dengan membuat proyek keluarga. Jika sekeluarga sudah menemukan suatu isu yang benar-benar menggugah kepedulian mereka, maka keluarga itu dapat mendiskusikan apa yang dapat mereka lakukan untuk menjadi bagian dari solusi. Proyeknya bisa sesederhana menulis surat pembaca / membuat buletin / menulis blog mengenai isu tersebut dan mensosialisasikannya kepada teman-teman keluarga atau komunitas sekitar untuk meningkatkan kesadaran (awareness) mengenai isu tersebut.

4. Libatkan anak ketika melaksanakan hak dan kewajiban kewarganegaraan.
Jelaskan kepada anak ketika orangtua membayar pajak, memperpanjang SIM /  KTP, mencoblos ketika pemilu, menulis surat protes ke pihak yang berwenang mengenai suatu isu, dll. Berikan teladan kepada anak dan ajarkan caranya bagaimana peduli dan berkontribusi untuk kesejahteraan kota dan bangsa.

5. Berteman dengan keluarga lain dari beragam latar belakang.
Konflik sering terjadi ketika label diberikan kepada orang-orang tak bernama. Si kafir, misalnya. Tapi bayangkan jika si kafir tadi punya nama dan kita berhubungan baik dengannya. Agak lebih susah untuk benar-benar membenci atau membiarkan konflik mengekskalasi sampai tingkat yang sudah tidak dapat dikendalikan. Sayangnya fenomena sekolah agama, swasta - negeri, dll sudah mengkotak-kotakkan warga Indonesia menjadi blok-blok berdasarkan agama, ras, dan status ekonomi. Keluarga-keluarga pun sering tidak ada usaha untuk mengenal tetangganya yang berbeda dan membiarkan anak-anaknya saling berteman. Perluas lingkaran pergaulan. Ajarkan pada anak, meskipun kita berbeda dan tidak selalu setuju dengan mereka, tapi kita tetap harus menghargai dan memperlakukan mereka dengan hormat.

6. Ajarkan anak tata krama.
Pada dasarnya tata krama adalah teknik untuk menghargai orang lain dan membuat orang lain merasa nyaman di sekitar kita. Namun hal yang seolah sepele tapi sangat penting ini sering dilupakan oleh para orangtua. Jadikan kebiasaan di rumah untuk mempraktikan tata krama yang benar, seperti selalu ucapkan terima kasih dan tolong, bicara dengan suara lembut (tidak membentak/bentak), menahan pintu jika ada orang dibelakang yang mau masuk ke ruangan yang sama, mengantri, tidak memotong pembicaraan, dll. Ketika hal-hal tersebut selalu dilakukan maka akan menjadi kebiasaan dan kebiasaan akan membentuk karakter.

7. Latih anak untuk berpikir.
Saya cukup terkejut ketika saya berkuliah di Amerika, dan salah satu profesor saya membuka kelas di semester baru dengan berkata, "di kelas ini saya akan mengajarkan Anda bagaimana caranya berpikir!" Jadi, untuk dapat berpikir pun perlu belajar dan itu tugas orangtua sebagai guru pertama anak. Caranya antara lain dengan rajin bertanya pada anak, dorong anak untuk bertanya, biasakan berbeda pendapat tapi latih juga caranya mencapai konsensus, ajarkan anak untuk menganalisa masalah dan mencari solusi, ajarkan anak mengenai benar dan salah, mengapa sesuatu itu salah dan seperti apa versi benarnya, dsb. Semua dilakukan dengan santun dan penuh semangat untuk mencapai solusi bagi kepentingan bersama.

8. Penuhi kebutuhan anak tapi batasi pemberian fasilitas.
Menurut saya orangtua yang kejam adalah orangtua yang melimpahi anak-anaknya dengan berbagai kemewahan fasilitas hidup sehingga anak merasa tidak perlu berusaha untuk mendapatkan apapun. Tentu saya tidak menganjurkan untuk tidak memberi makan anak, yang saya maksudkan sebagai kebutuhan utama anak adalah kasih sayang dan waktu orangtua serta kebutuhan pokok pendidikan, sandang, pangan, papan; di luar hal tersebut adalah tambahan. Ajar anak untuk membedakan antara kebutuhan dan keinginan, dan bahwasanya tidak semua keinginan dapat terpenuhi. Itulah hidup. Dengan tidak mengumbar fasilitas, orangtua mengajarkan anak untuk menghargai nilai uang, berpikir kreatif dan berusaha jika menginginkan sesuatu. Contohnya ketika anak menginginkan sepeda, orangtua dapat mengajukan pertanyaan sebagai berikut: "Kamu mau beli sepeda? Sudah tau harganya dan gimana cara kamu akan bayar sepedanya? sudah riset sepeda yang paling bagus sesuai kemampuan kamu? kalau kamu mau nabung dari uang jajan kamu kira-kira berapa lama sampai sepeda itu bisa terbeli? apa alternatif lain selain sepeda?" Orangtua dapat membimbing anak dalam proses memutuskan apakah ia akan membeli sepeda atau tidak, bagaimana caranyanya, dan kapan ia akan mebeli kalaupun memutuskan untuk membeli. Kalau orangtua langsung begitu saja memberikan sepeda, maka pelajaran berharga dalam mengambil keputusan dan mendapatkan sesuatu dengan kreatif dan atas usaha sendiri ini tidak akan anak dapatkan.

Jika kedelapan poin diatas dilakukan, niscaya akan terjadi Revolusi Mental di Indonesia. Mentalitas apatis dan penuntut yang selalu berkata "dahulukan kepentingan SAYA!", menjadi mentalitas kontribusi yang mau melayani dan selalu berkata "apa yang bisa saya lakukan untuk membuat situasi ini, kota ini, bangsa ini menjadi lebih baik?" Dari revolusi mental ini akan lahir generasi yang inovatif dan gemar mencipta serta berkarya. Kreatif menciptakan peluang usaha, melahirkan teknologi baru, dan menelurkan karya-karya budaya.

Nah, berdasarkan uraian di atas, saya jadi semakin yakin mendukung Jokowi, capres pilihan saya yang menggunakan Revolusi Mental sebagai Jargon Politik menuju RI 1. Beliau paham bahwa Revolusi mental harus terjadi di Indonesia agar segenap warganya memiliki mentalitas kontribusi dan dapat bergotong royong memajukan Indonesia untuk kepentingan bersama. Revolusi mental harus dimulai dari keluarga, karena keluarga nomor satu, untuk Presiden biarlah nomor dua :)





No comments:

Post a Comment