Sunday, November 17, 2013

Anakku Berbahasa Indonesia

Tulisan ini terinpirasi dari sebuah status teman saya di Facebook yang mengomentari sebuah artikel di New York Times. Artikel tersebut membahas mengenai fenomena berbahasa anak-anak di Indonesia yang lahir dari orangtua yang telah mengenyam pendidikan di Amerika dan Australia. Para orangtua ini berbicara menggunakan bahasa Inggris dengan anak-anak mereka dan menyekolahkan mereka di sekolah swasta dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar utamanya. Alhasil, mereka menjadi anak-anak Indonesia yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Lebih lanjut dikemukakan bahwa terdapat kecenderungan di masyarakat kelas menengah atas untuk melihat bahasa Indonesia sebagai bahasa yang digunakan oleh masyarakat kelas bawah.


Dahi saya mengernyit ketika membaca artikel itu. Awalnya ingin sedih, tapi saya berpikir lagi kalau apa yang tertulis di artikel tersebut masuk akal juga. Seperti yang selalu saya tuliskan di blog ini, bahwasanya setiap apapun yang dilakukan orangtua dalam mendidik anaknya bergantung pada tujuan masing-masing dalam membangun keluarga dan mendidik anak-anaknya.

Saya membayangkan apa yang ada di benak keluarga-keluarga yang diceritakan di artikel itu. Sekembalinya dari Amerika atau Australia, mungkin mereka merasa kemampuan berbahasa Inggris adalah kunci keberhasilan hidup atau simbol status sosial. Jika tujuan utama membangun keluarga dan mendidik anak adalah agar mereka menjadi sukses secara materi dan menempati posisi sosial yang baik di masyarakat, maka apa yang mereka lakukan sudah tepat. Tidak ada yang salah.

Dalam hal ini, saya dan suami memiliki tujuan yang berbeda dalam membangun keluarga dan mendidik anak kami. Oleh karena itu, kami sekeluarga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama percakapan kami sehari-hari. Berikut beberapa alasan dibalik keputusan kami.

1. Kami ingin anak kami memiliki mentalitas kontribusi.
Seperti  yang saya tulis sebelumnya di sini, kami ingin anak kami dapat berkontribusi di tempat di mana ia berada dan dalam beberapa tahun lagi setelah studi suami selesai, kami akan kembali ke Indonesia. Sangat sulit bagi anak kami untuk dapat berkontribusi jika ia tidak dapat berkomunikasi dalam bahasa yang digunakan mayoritas orang Indonesia

2. Kami ingin anak kami memiliki kemampuan berbahasa yang baik.
Menurut Ana Paula G. Mumy, seorang pakar bahasa, agar anak dapat memiliki kemampuan berbahasa dengan baik, orangtua  sebaiknya memberikan input bahasa yang berkualitas secara efektif dan konsisten. Untuk melakukan itu, orangtua harus berbicara dengan bahasa yang paling dominan mereka gunakan dan kuasai dengan baik. Biasanya, bahasa tersebut adalah bahasa ibu, dan dalam kasus kami adalah bahasa Indonesia. Tata bahasa dan jumlah kosa kata yang kami kuasai dalam bahasa Indonesia jauh lebih baik dan lebih banyak daripada dalam bahasa Inggris

3. Kami ingin menjalin percakapan yang akrab dan intim dengan anak kami.
Meskipun saya dan suami dapat berbahasa Inggris, terus terang kami merasa kurang personal jika menggunakan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari. Ada banyak istilah / frase dalam Indonesia yang tidak dapat diterjemahkan sepenuhnya ke dalam bahasa Inggris, seperti “rasanya plong”, “galau”, “pecah”, dan masih banyak istilah lainnya yang akan kehilangan soul nya jika diterjemahkan ke dalam bahasa lain hehe… Nah, kami ingin memiliki soul itu dalam setiap percakapan kami di rumah.

4. Kami ingin anak kami dapat berkomunikasi dalam multibahasa, dan tentu salah satunya adalah bahasa Indonesia.
Sekali lagi menurut Ana Paula G. Mumy, seorang anak akan lebih mudah mempelajari bahasa kedua jika sudah memiliki dasar kemampuan bahasa pertama yang kuat. Anak harus dapat berkomunikasi secara efektif di rumahnya sebelum ia dapat bekomunikasi dengan efektif di luar rumah. Jika orangtua menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa percakapan di rumah, kemungkinan untuk membangun dasar bahasa pertama yang kuat lebih besar jika dibandingkan dengan orangtua yang memaksakan berbicara menggunakan bahasa kedua yang kurang memadai. Kecenderungannya, banyak anak-anak yang lahir dari orangtua berkebangsaan Indonesia, tidak terlalu banyak bicara ketika masih berusia 0 – 3 tahun dan mulai semakin lancar berbicara ketika masuk sekolah. Hal ini dikarenakan orangtua yang ingin mengajarkan bahasa Inggris kepada anaknya tapi ketika berkomunikasi sesama suami istri lebih nyaman menggunakan bahasa Indonesia. Orangtua jadi jarang bercakap-cakap secara personal dengan anak karena ketidaknyamanan / keterbatasan berbahasa dan percakapan yang terjadi sebagian besar dilakukan dalam bentuk instruksi. Kemudian, ketika mulai sekolah sang anak lebih banyak belajar bahasa Inggris dari teman dan gurunya. Biasanya yang terjadi berikutnya adalah orangtua mulai ingin berbicara bahasa Indonesia dengan anaknya tapi sang anak, meskipun mungkin mengerti, enggan menjawab dalam bahasa Indonesia.

Dengan berpegangan pada empat alasan ini, saya bersyukur di usia 2 tahun 4 bulan anak saya sudah dapat berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Berikut beberapa tips yang kami ikuti dalam melatih anak saya untuk tetap berbahasa Indonesia di tengah lingkungan yang berbahasa Inggris.

1. Selalu berbicara menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar J.
Artinya, meskipun saya sedang bicara dengan anak batita, percakapan saya berlangsung normal seperti dengan orang dewasa dan tidak “dicadel-cadelin.” Hal ini penting agar anak saya memiliki referensi berbahasa yang baik dan benar. Semenjak anak kami masih bayi, saya dan suami juga selalu berdiskusi  mengenai berbagai hal di depan anak kami mengggunakan bahasa Indonesia, seolah-olah dia juga sudah dapat bergabung dalam diskusi tersebut J. Sesekali kami berhenti dan bertanya pada anak kami, “bagaimana menurut kamu Jov?”

2. Menggunakan bahasa Inggris untuk beberapa kalimat yang berhubungan dengan tata krama dan sopan santun.
Karena anak saya harus berinteraksi dengan orang-orang disekitar, maka dia harus menguasai percakapan dasar dalam bahasa Inggris. Misalnya: Please, thank you, good, morning, dll. Menurut saya, belajar bahasa harus selaras dengan belajar sopan santun.

3. Menggunakan bahasa Inggris untuk menyebut huruf, angka, kata benda, dan kata sifat.
Hal ini untuk memudahkan dia untuk menjawab kalau ditanya oleh tetangga mengenai gambar apa yang ada di bajunya misalnya. Karena tidak sopan jika anak saya diam saja dan hanya menatap kosong sang penanya, jadi saya harus melengkapinya dengan keterampilan dasar untuk menjawab pertanyaan-pertanyan sederhana sebelum akhirnya dia akan menguasai kalimat yang lebih kompleks seiring dengan berambahnya usia anak saya.

4. Sering-sering menterjemahkan kalimat ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Saya sering menterjemahkan dan bicara dua kali dengan anak saya, menggunakan bahasa Indonesia dan Ingggris. Misalnya, “Jova, the color of the car is red. Warna mobil itu merah.” Terus, di lain kesempatan saya bertanya, “bahasa Indonesianya red, apa Jov?”


5. Tetap perkenalkan buku dan lagu berbahasa Inggris tetapi dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar.
Saya suka membacakan buku-bukunya Dr. Seuss untuk anak saya dan membacakannya dalam bahasa Inggris. Tapi tentu saja percakapan yang menyertai pembacaan buku tersebut dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia.



6. Meminimalisir Penggunaan  TV, Video Game, atau Komputer di rumah.
Sarana terbaik bagi anak untuk belajar bahasa di usia formatif 0-5 tahun adalah melalui interaksi langsung dengan lingkungan dan orangtuanya. Seorang psikolog peneliti bernama Jane Healy, dalam bukunya Endangered Minds: why children don’t think and what we can do about it, mengatakan bahwa lingkungan formatif yang kaya - yaitu lingkungan yang menyediakan banyak kesempatan untuk melakukan eksplorasi, berkreasi, dan menyelesaikan masalah -  menjadi pupuk bagi pertumbuhan otak anak dan menghasilkan anak yang lebih sehat, mudah beradaptasi, dan cerdas. Lebih jauh lagi, salah satu ciri anak yang memiliki otak yang sehat adalah kemampuannya untuk tetap fokus menyelesaikan suatu kegiatan yang sesuai umurnya berapa lama pun waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya. Jadi dengan mengurangi penggunaan media elektronik yang saya sebutkan diatas, orangtua tidak hanya mendukung perkembangan bahasa tapi juga perkembangan otak anak secara keseluruhan.


Semoga tips-tips di atas berguna bagi Anda yang ingin membesarkan anak yang berbahasa Indonesia di tengah lingkungan yang berbahasa asing.

No comments:

Post a Comment